
Pemanfaatan limbah organik sebagai sumber material fungsional berpotensi besar dalam mendukung teknologi energi berkelanjutan. Penelitian berjudul “From Waste to Watts: Green Extraction of Cellulose from Kepok Banana Peel via Microwave-Assisted Extraction for Sodium-Ion Battery Applications” disusun oleh tim dari Universitas Diponegoro yang terdiri atas Zuriel Nicholas Ferdinan Tampubolon dan Bayu Surya Kusuma dari Program Studi Teknologi Rekayasa Kimia Industri, Sekolah Vokasi, serta Ken Sebastian dari Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian. Penelitian ini berfokus pada ekstraksi selulosa ramah lingkungan dari kulit pisang kepok menggunakan metode microwave-assisted extraction, yang hasilnya diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai material pendukung dalam pengembangan baterai ion-natrium yang efisien dan berkelanjutan.
Di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional dan ketergantungan pada sumber energi fosil, muncul inovasi yang menawarkan harapan baru bagi keberlanjutan. Inovasi ini berawal dari masalah sederhana namun nyata: limbah tahu dan tempe yang selama ini hanya berakhir sebagai pencemar lingkungan. Limbah cair dari industri tersebut memiliki kadar COD dan BOD tinggi yang dapat merusak kualitas air dan menimbulkan bau tidak sedap. Namun di tangan para inovator muda, limbah ini justru menjadi sumber energi alternatif melalui pengembangan sistem BIOSAKA-1, sebuah reaktor hibrida yang menggabungkan Fixed Bed Biofilm Reactor (FBBR) dengan Solar Water Heater (SWH) untuk mengoptimalkan produksi biogas dari limbah organik.
Dengan desain yang compact, sistem BIOSAKA-1 hanya membutuhkan lahan seluas 2,7 m², menjadikannya sangat ideal diterapkan di kawasan industri kecil menengah seperti pengrajin tahu dan tempe. Melalui sistem biofilm yang memanfaatkan media tempat tumbuh mikroorganisme, degradasi bahan organik berlangsung lebih efisien dibanding reaktor konvensional. Sementara itu, energi panas dari Solar Water Heater menjaga suhu reaktor pada kisaran 40-45°C yang merupakan kondisi optimal bagi aktivitas mikroba termofilik yang mempercepat proses fermentasi anaerob.
Dari hasil uji operasional, BIOSAKA-1 mampu menghasilkan biogas stabil sebanyak 2–3 m³ per hari dengan kandungan metana di atas 60%, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi dapur industri kecil yang setara empat tabung LPG per bulan. Tak hanya itu, sistem ini juga terbukti mampu menurunkan kadar Chemical Oxygen Demand (COD) hingga 79%, menandakan keberhasilan signifikan dalam mereduksi beban pencemar pada limbah cair. Waktu retensi hidrolik (HRT) yang biasanya mencapai 20-30 hari kini dapat dipangkas menjadi hanya satu hari tanpa menurunkan kualitas biogas yang dihasilkan dan efisiensi yang menjadi salah satu keunggulan utama teknologi ini.
Menariknya, proses ini tidak hanya berhenti pada produksi gas. Limbah cair sisa fermentasi kemudian diolah lebih lanjut menjadi pupuk organik cair (POC) dengan penambahan bahan organik tambahan untuk meningkatkan kandungan N, P, dan K. Dengan demikian, seluruh limbah dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa menghasilkan residu baru, menjadikan BIOSAKA-1 sebagai sistem zero waste yang sesungguhnya.
Dari sisi keberlanjutan, inovasi ini memiliki dampak ganda. Di satu sisi, mengurangi emisi metana dari limbah organik yang tidak terkelola; di sisi lain, menurunkan konsumsi LPG yang berbasis fosil. Dengan penerapan skala luas, teknologi ini dapat mendukung program nasional dalam upaya transisi energi menuju Net Zero Emission 2060. Selain itu, model integratif antara biogas converter dan solar water heater ini menunjukkan bahwa solusi energi bersih tidak selalu harus mahal atau rumit, hanya cukup dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar kita.
Apakah Informasi ini Bermanfaat Untukmu?
Click on a star to rate it!
Rating rata-rata 0 / 5. Banyaknya rating: 0
No votes so far! Be the first to rate this post.

